”AKU BERBELANJA MAKA AKU ADA” Sebuah Repleksi Konsumerisme

Judul artikel ini dialih konteks dari ungkapan Decrates yang terkenal ”Aku berfikir maka Aku ada”, dirasa cocok untuk merefresentasikan gaya hidup konsumtif dewasa ini. Ungkapan Descates itu menunjukkan keegoan yang sangat, sebagai tanda tentang keberadaan siapa yang mengungkapnya. kini ungkapan tersebut tergantikan dengan ”aku berbelanja maka aku ada”.

Jika dialih konteks dengan konsumerisme pada lebaran saat ini ”Aku beli baju baru maka aku ada”, dengan indikasi yang kasat mata rumunan manusia di berbagai pusat perbelanjaan, rumunan tersebut bagai ritual tahunan yang tak terbantahkan, ritual yang secara sosial merupakan budaya yang telah mengideologis, bagai rangkuman ide-ide, kesadaran yang tidak bisa dilepas pada makna yang tersembunyi di akhir romadhon, namun beberapa ahli agama mungkin akan menyadari kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka puasa, lebaran bagian akhir dari berbuka tersebut. Bisa dikatakan lebaran ”buka kubro”, yang terkumulasi melalui buka-buka kecil dalam agenda harian romadhon. Kegembiraan berbuka tersebut meledak di akhir romadhon dengan memberi rasa suka cita yang telah terkumulasi bagai gunung es yang mencair saat bulan romadhon ini menjauh dan kembali tahun depan.

Memahami lebaran masyarakat muslim telah melakukan banyak sekali tradisi, baik tradisi mudik sebagai sarana untuk bersilaturahmi kepada keluarga. Tradisi itupun terus berkembang membawa oleh-oleh pada saat mudik hingga akhirnya membawa tanda dan simbol baru dari kehidupan di rantau. Tanda dan simbol yang biasanya tidak dibawa tahun ke tahun mengalami perubahan sehingga yang baru tersebut terindikasi dari simbol-simbol yang dikonsumsi, dapat berupa kendaraan, pakaian, perhiasaan atau pernak pernik yang melekat. Untuk mewujudkan itu maka sikap konsumtif adalah alternatifnya.

”Aku berbelanja maka aku ada” dalam suatu kondisi selalu mengalami pergeseran dan perubahan, karena konsumsi digerakkan oleh produksi yang meluas. Produsen terus berinovasi demi melanggengkan kekuasaaan produknya dan sisi lain tidak murni bertujuan untuk memanjakan pelanggan dengan suatu yang baru. Baru mode, gaya, bahkan baru teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Saat ini tidak bisa lagi diragukan untuk kekurangan produksi tetapi menurunnya daya beli sebagai refresentasi dari konsumsi menjadi momok yang menakutkan.

Konsumsi tidak lagi hanya difahami sebagai barang-barang yang terkait dengan makanan, minuman dan pakaian saja atau pandangan yang ingin memenuhi kebutuhan hidup dengan mengorbankan atau menggunakan sumber daya tertentu. Namun tradisi dan konsumerisme memang sulit untuk dibedakan, karena keduanya dipisahkan benang tipis.

MASYARAKAT KONSUMSI

Tokoh yang konsen pada kajian seputar konsumerisme seperti Jean Baudrillard, ia mengemukan tentang masyarakat konsumtif (Consumer Society), secara teoritis masyarakat mengkonsumsi suatu benda pada awalnya sebagai media pertukaran manfaat suatu benda, namun kemudian pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model marxisme) mengalami pergeseran pada pemaknaan benda yang dikonsumsi. Konsumsi benda tersebut sekaligus memberi tanda dan symbol konsumsi.

Tanda dan symbol tersebut sebagai tanda kelas social, symbol kekuasaan, tanda kesenangan, tanda kesejahateraan, dan sebagainya. Kemudian konsumsi tidak berorientasi pada daya gunanya namun sebagai yang mengartikan tanda sesuatu dan symbol akan sesuatu. Benda atau barang yang dikonsumsi merefresentasikan makna tertentu, sadar atau tidak konsumsi yang dilakukan lebih pada gaya dan tren akhirnya terjebak pada mode-mode yang diproduksi.

Senyatanya dalam kasus tradisi mudik merupakan bentuk silaturahmi. Wujud spritualitas seorang muslim, yang ingin menyambung silaturahmi. Namun kemudian bergeser pada penunjukan eksistensialisme sebagai simbol kesejahteraan, kebahagian, kesenangan dan kekuasaan yang dapat berwujud dengan tanda-tanda materi yang dikonsumsi. Secara rasional materi yang dikonsumsi merupakan tanda dari eksistensialismenya.

Selama ini silaturrahmi hanya terwujud hubungan kasih sayang, yang tidak ada kepentingan dan pamrih. Pergeseran konsumsi massa dimana dewasa ini yang ditampilkan masyarakat adalah sikap “saya berbelanja berarti saya ada”, sikap ideologis seperti ini berlanjut pada tidak berbelanja maka saya belum exist dalam kehidupan masyarakat, kalau saya mengunakan pakaian baru pada saat lebaran tiba itu menunjukkan diri nya ”ada”. kepentingan diri (self interest) yang ditonjolkan dalam pertukaran sosial masyarakat saat ini.

Sikap rasionalitas tersebut memberikan logika-logika kekuatan simbol dari berbelanja. Berbelanja merupakan simbol memiliki kekuasaan ekonomi dan kekuataannya, dalam arti saya memiliki kekuatan ekonomi sehingga saya mengunakan yang baru-baru pada saat lebaran. Tujuan berpuasa untuk menciptakan manusia yang beragama (homo islamicus) bergeser ke bentuk masyarakat kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai homo economicus.

Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi. Silaturrahmi menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensialismenya yang berwujud symbol-simbol barang dan pakaian baru.

Sikap konsumen yang menganggap suatu barang adalah merupakan ”tanda” bahwa ia ada bukan untuk memenuhi kebutuhan yang hakiki. sebagai tanda ia ”ada” difahami sebagai penampakan pada kebutuhan palsu masyarakat saja. Misalnya baju yang baru masih ada tersimpan rapi dirumah namun tetap membeli baju baru untuk dipakai saat lebaran tiba. Itu pertanda bahwa lebaran identik dengan simbol serba baru. Bukan pada memenuhi kebutuhan dasar untuk menutup aurat misalnya.

Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut.

Tanda baju baru tersebut sebagai upaya meningkatkan image bahwa secara strata sosial dia mampu untuk membeli baju baru. Dan berkembang pada life syle dan mode-mode yang dikonsumsi apakah mode yang dibeli adalah mode terbaru atau bukan. Ini terkait dengan politik ekonomi produsen, masyarakat konsumen telah terjebak pada kepentingan ekonomi produsen. Secara asasi produksi barang hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan saja.

Namun budaya konsumerisme yang mendorong kehidupan masyarakat yang ditujukan pada pemenuhan keinginan (penikmatan) dan bukan kebutuhan pokok menuntun masyarakat untuk bergaya hidup mewah. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius karena budaya konsumerisme yang tidak terkendali akan sangat berdampak buruk.

Sadar atau tidak konsumerisme berdampak buruk baik bagi agama ataupun kehidupan social masyarakat, sebab hedonism, riya dan bahkan konsumsi menjadi candu bagi masyarakat. Secara agama hal ini tidak diindahkan baik bagi agama Islam maupun bagi agama lainnya sangat menentang efek negative tersebut.

Pierre Bourdieu tokoh sosiologi konsumsi menyatakan Produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi.

Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut.

Dalam tingkatan konsumerisme dapat difahami pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Namun bentuk Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Apa yang dikonsumsi sesuai dengan pada level apa dalam kehidupan sosialnya. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup. 

Selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. 

Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Istilah gaya hidup (life syle) tidak memiliki makna asli sebagaimana dalam kajian sosiologis. Gaya hidup merupakan refresentasi dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang khas. 

Dewasa ini gaya hidup tidak dapat difahami sebagaimana refresentasi kelompok kelas tertentu, kini gaya hidup merupakan ekpresi diri yang individualitis secara sadar dengan syle-syle. Gaya hidup itu menyangkut barang konsumsi, perawatan tubuh yang merata sebarannya sebagai indikasi dari sikap “individualities”, mulai dari sekedar perawatan rambut, semir rambut, rebonding dan sambung rambut.

Variasi mode busana, pilihan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam program-program wisata kuliner penuh gairah itu juga dipandang sebagai indikasi individualities yang sarat dengan refresentasi kepentingan diri (self interest) yang estetis dan itulah gaya hidup konsumen hari ini.

            Konsumsi sebagai wujud pilihan-pililhan dengan variasi mode secara sadar adalah imbas dari kemajuan ilmu manusia, namun secara tidak sadar, produksi yang dihasilkan memerlukan segmen pasar dan respon pasar. Kini membeli dan mengunakan jasa-jasa tersebut bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia (basic need) yang bersifat dhoruri, pergeseran budaya yang tak dapat diabaikan.

Agama dan Konsumerisme

            Bukan lagi konsumsi untuk hidup namun konsumsi telah beralih kepada konsumsi sebagai budaya baru yang sangat kuat akarnya ditengah masyarakat. Kesiapan kita dalam pesentuhan dalam budaya konsumen yang given tersebut. Sendi-sendi agama akankah mampu melewatinya. Atau agama tidak memiliki akar yang kuat sehingga pemeluk agama terhindar dari konsumersme itu.. 

Sebuah artikel tentang “Bulan Konsumerisme Agama Renungan di penghujung Bulan Ramadan” yang ditulis di Muhamadun memberikan suatu gambaran bahwa romadhon sebagai bulan suci untuk menghilangkan tindakan-tindakan konsumerisme tersebut justru menjadi bulan yang penuh dengan tindakan-tindakan konsumtif masyarakat.

Sepertinya agama belum mampu menjawab phenomena budaya konsumerisme itu, atau mungkin konsumerisme itu bukan hanya sekedar budaya (consumer culture) namun konsumerisme itu juga secara sadar memiliki keyakinan-keyakinannya sendiri, sebagaimana Durkheim, agama meliputi keseluruhan kepercayaan sosial, karena keyakinan sosial terdiri hampir secara eksklusif dari keyakinan umum dan praktek-praktek umum yang berasal dari perekatan (adhesi) yang penuh intensitas yang sangat khusus.

Khutbah-khutbah agama dan ceramah-ceramah agama yang anti dengan tindakan konsumerisme selama romadhon belum mampu membuat umatnyauntuk anti terhadap tindakan konsumerisme tersebut, tokoh agama pun juga telah binggung dengan realitas social ini. Fungsi agama yang dikatakan gramsci sebagai hegemoni dan counter hegomoni, dijadikan alat untuk melepas diri manusia dari hegemoni tindakan consumerisme juga tidak nyata wujudanya, bagamana bentuk, dan pola-pola apa yang dapat dilakukan oleh agama. Ini menjadi pertanyaan social keagamaan bagi kita. Wallahu’alam bishowab.

AKU BERBELANJA MAKA AKU ADA” Sebuah Repleksi Konsumerisme

Dari Pengamalan dan Pengamalan menuju pencerahan

Pengalaman, Pengamalan dan Pencerahan

Judul artikel ini dialih konteks dari ungkapan Decrates yang terkenal ”Aku berfikir maka Aku ada”, dirasa cocok untuk merefresentasikan gaya hidup konsumtif dewasa ini. Ungkapan Descates itu menunjukkan keegoan yang sangat, sebagai tanda tentang keberadaan siapa yang mengungkapnya. kini ungkapan tersebut tergantikan dengan ”aku berbelanja maka aku ada”.

Jika dialih konteks dengan konsumerisme pada lebaran saat ini ”Aku beli baju baru maka aku ada”, dengan indikasi yang kasat mata rumunan manusia di berbagai pusat perbelanjaan, rumunan tersebut bagai ritual tahunan yang tak terbantahkan, ritual yang secara sosial merupakan budaya yang telah mengideologis, bagai rangkuman ide-ide, kesadaran yang tidak bisa dilepas pada makna yang tersembunyi di akhir romadhon, namun beberapa ahli agama mungkin akan menyadari kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka puasa, lebaran bagian akhir dari berbuka tersebut. Bisa dikatakan lebaran ”buka kubro”, yang terkumulasi melalui buka-buka kecil dalam agenda harian romadhon. Kegembiraan berbuka tersebut meledak di akhir romadhon dengan…

Lihat pos aslinya 1.404 kata lagi

EKSPLORASI SUMBER-SUMBER PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Sebagian besar doktrin-doktrin dogmatis dan teologis yang muncul dalam Islam pada pokoknya mempunyai asal usul politis, yang berasal dari peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada awal sejarah Islam. Hal tersebut telah berimplikasi besar terhadap pemahaman agama serta berpengaruh luas dalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat muslim, belum lagi kondisi yang diakibatkan oleh kejahatan kolonialisme, generasi yang hilang akibat perang dan doktrin kapitalisme yang telah akrab dengan aktifitas ekonomi mereka. Oleh karenanya perlu adanya upaya-upaya yang mengarah pada gerakan purifikatif yang memberikan referensi positif dalam program-program rekonstruksi internal dengan memberikan rumusan Islam yang positif dan aktual sehingga dapat mengapresiasi arus modernitas global dengan baik serta tidak kehilangan arah. Gerakan purifikatif ini dimaksud adalah merekonstruksi rumusan Islam dengan memberikan nilai-nilai moral dan religius yang terintegrasi ke dalam syari’ah serta termanifestasikan dalam tatanan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat muslim era modernitas global. Dengan begitu akan terbangun kultur ataupun terbentuknya peradaban yang pada hakikatnya merupakan pengembangan dari kesadaran egonya yang dijiwai oleh spirit dan pengalaman keagamaan serta merujuk pada sumber-sumber Islam yang asasi yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, di samping legislasi hukum dan pemikiran yang telah diberikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in sebagai perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat serta berakar kokoh dalam proses kesejarahan, tidak terkecuali dalam pemikiran ekonomi Islam.

al-Qur’an sebagai Sumber Asasi
Al-Qur’an yang turun dalam dua periode, Makkiyah dan Madaniyyah, diturunkan tidak semata-mata mengandung sentakan dan dorongan moral serta seruan-seruan religius melainkan juga menjadi petunjuk, pedoman dan pengarahan bagi penyusunan suatu tatanan masyarakat yang aktual. Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah firman Allah. Nabi Muhammad juga betul-betul yakin bahwa beliau telah menerima wahyu dari Allah secara verbal dan bukan hanya dalam makna dan ide-idenya saja dengan otoritas mutlak (QS. 42 : 51-52).
Semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, bahkan ia harus tunduk dan berserah diri kepadanya. Ketundukan dan penyerahan diri ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual untuk bisa dilaksanakan harus diketahui terlebih dahulu. Dan untuk itu, padahal kekuatan persepsi kognitif setiap orang adalah tidak sama dan memiliki tingkatan yang berbeda, tidak terbatas, begitu pula dengan persepsi moral dan religius. Oleh karenanya, diutus seorang rasul yang keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya sehingga dipandang bebas dari kesalahan-kesalahan yang serius lagi fatal (ma’shum), itulah Muhammad saw. dan hanya beliau satu-satunya manusia seperti itu yang dikenal dalam sejarah. Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum muslimin sebagai sunnah atau model yang sempurna (uswatun hasanah).
Sebagai sumber moral dan ide-ide keadilan sosial dan ekonomi, al-Qur’an sedikit demi sedikit menggariskan pandangan dunianya lebih lengkap, maka tertib moral pada manusia sampai pada titik sentral dari kepentingan Ilahi dalam sebuah gambaran yang penuh dari suatu tata kosmis yang tidak hanya mengandung sensivitas religius yang tinggi, tetapi juga memperlihatkan tingkat konsistensi dan koherensi yang mengagumkan. Suatu konsep tentang Tuhan, pencipta mutlak alam semesta, dikembangkan, dimana sifat-sifat kreatifitas, ketertiban dan rahmat tidak hanya terletak berdampingan atau ditambahkan satu pada yang lain saja, tetapi saling terkait erat satu dengan lainnya.
Sesungguhnya, kesan yang paling intens dan meninggalkan bekas di dalam sanubari orang yang membaca al-Qur’an adalah bukan eksistensi Tuhan yang selalu mengawasi, merampas dan menghukum tetapi adalah suatu kehendak yang bertujuan dan terpadu yang menciptakan tata tertib di alam semesta : sifat-sifat kekuasaan atau keagungan, kewaspadaan atau keadilan serta kebijakan yang diatributkan sebagai sifat Tuhan di dalam al-Qur’an dengan penekanan yang jelas yaitu keteraraturan kosmos yang kreatif tidak terkecuali dalam sistem ekonomi.
Sistem ekonomi yang terkandung dalam al-Qur’an adalah merupakan jabaran dari wujud upaya memelihara ekosistem sehingga kelanggengan eksistensi sunnatullah tetap dapat terjaga. Secara tegas al-Qur’an telah memberikan berbagai batasan, keharusan dan pengaturan tentang aktifitas perekonomian dan keuangan, yang antara lain adalah :
a. Private ownership (hak-hak penguasaan faktor produksi atau kekayaan) dibenarkan akan tetapi penguasaan tersebut tidak bersifat mutlak, dan ada pengaturannya sebagai restriksi dalam kepemilikan di antaranya adalah :
1) Kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu, adanya larangan akumulasi kekayaan dan kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada sejumlah individu (QS. al-Taubah : 34, al-Hadid : 7, al-Baqarah : 278-279, al-Hasyr : 9);
2) Anjuran bekerjasama (co-operative) dan kerjasama produksi (QS.al-Zukhruf : 32);
3) Larangan pemanfaatan harta secara berlebihan (boros) dan cenderung melampaui batas (QS. Yunus : 7-8, al-Anfal : 28)
4) Larangan merusak human capital atau produksi atas dasar alasan apapun kecuali yang telah ditentukan oleh syara’ (QS. Bani Israil : 31, al-Maidah : 33);
5) Optimalisasi efektifitas pemanfaatan sumber daya (QS.al-Hijr : 21, Ibrahim : 32-34, al-Nahl : 10-11, 14, Faathir : 28 ).
b. Dibenarkan adanya perbedaan dalam upah sebagai refleksi dari perbedaan kemampuan, skill, latar belakang pendidikan dan lain sebagainya (QS. al-Taubah : 24);
c. Pemberlakuan zakat, infak dan sedekah sebagai social security dalam penataan kebijakan fiskal (QS. al-Baqarah : 43, 83, 110, 267)
d. Larangan bunga dan anjuran system loss and profit sharing dalam berbagai aktifitas ekonomi (keuangan, perdagangan, industri, pertanian dan lain sebagainya) karenang lebih adil dan ihsan (QS. al-Baqarah : 275-279; Ali Imron : 130)
Tegasnya, tuntutan dasar al-Qur’an di bidang ekonomi adalah tegaknya suatu tatanan kemasyarakatan yang berlandaskan moral, yang bertujuan merealisir nilai-nilai keadilan ekonomi dan sosial.

Diharapkan redisposisi dan reinterpretasi produk-produk pemikiran ekonomi melalui proses eksplorasi dan elaborasi sumber-sumber Islam dan nilai kesejarahan akan mampu menguak beberapa permasalahan ekonomi umat beserta permasalahannya masa mendatang. Sebab penyusunan kembali terhadap studi tentang isu ekonomi dalam pandangan syari’ah yang berangkat dari penafsiran para sahabat Nabi dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka terhadap ilmu ekonomi yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah merupakan solusi alternatif yang selaras dengan latar belakang historis, aspirasi dan karakter sikap moral masyarakat muslim ( lihat gambar I ).

Gambar I
Gagasan Dasar Analisis Historis dan Redisposisi Produk
Pemikiran Ekonomi Islam serta Peranan Negara

+

Pengembangan Aplikasi

Lain daripada itu, sebagai bagian dari upaya pembentukan centre of excellent dalam pengembangan warisan produk pemikiran ekonomi Islam ke depan, ada tiga sokoguru utama yang menjadi target operasi kaji-tindak (action research) dalam mengembalikan tatanan keadilan sosio-ekonomi masyarakat muslim yang berakar mendalam pada sejarah Islam dan sesuai dengan zaman keemasannya. Dan berangkat dari ketiganya pula, maka diharapkan konsep-konsep ekonomi yang berdimensi ketuhanan tersebut akan lebih “membumi” dan sanggup berasimilasi dengan kekuatan konsep yang sudah ada serta bermetamorfosis menjadi solusi alternatif terbaik dalam menata kondisi sosio-ekonomi dunia Islam yang kurang menguntungkan dewasa ini ( lihat gambar II ). Adapun tiga sokoguru dimaksud adalah :
Gambar II
Tauhid, Persaudaraan & Etika : Dasar Tatanan Fundamental Ekonomi Islam

+

* Perencanaan * Larangan Riba
* Pengawasan * Larangan Akt.
* Kepemilikan * Kepemilikan Non-produktif
* Hasil * Larangan
* Resiko Spekulasi * Penerapan Hukum Waris
* PendayagunaanZIS
* Qardhul Hasan

* Mudharabah
* syirkah
* Korporasi * Tdk tamak * Halal
* Tdk kikir * Thoyyib
* Tdk isrof & tabdzir

Tema-tema Ekonomi Dalam Ayat Al-Quran
a. Private ownership (hak-hak penguasaan faktor produksi atau kekayaan) dibenarkan akan tetapi penguasaan tersebut tidak bersifat mutlak, dan ada pengaturannya sebagai restriksi dalam kepemilikan di antaranya adalah :
1) Kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu, adanya larangan akumulasi kekayaan dan kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada sejumlah individu (QS. al-Taubah : 34, al-Hadid : 7, al-Baqarah : 278-279, al-Hasyr : 9);

1. QS At-taubah ayat 34
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34}

اْلأَحْبَارِ = Pendeta-pendeta
َالرُّهْبَان = Rahib Yahudi
أَمْوَالَ النَّاسِ =Harta manusia
بِالْبَاطِلِ = Dengan cara atau jalan yang melanggar syariat
يَكْنِزُون =Menumpuk, menimbun
َ الذَّهَبَ =Emas
وَالْفِضَّة =Perak
وَلاَيُنفِقُونَ = Dan tidak menafkahkannya
فِي سَبِيلِ الله =Jalan Allah
فَبَشِّرْ =maka beri kabar
هُم =mereka
بِعَذَابٍ أَلِيم =dengan azab yang pedih

Makna Ayat:
Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari pendeta dan rahib yahudi itu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan hartanya pada jalan Aallah, maka beri tahukanlah kepada mereka (bahwa meraka akan mendapat) siksa yang pedih.
Makna Global:
Islam mengharamkan seseorang menimbun Harta, Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Menimbun Harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap moral.
Penimbunan Harta mempengaruhi perekonomian sebab sekiranya harta disimpan dan tidak ditahan, tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha produksif, misalnya dalam merancang rencana-rencana yang baru dan dapat menyelesaikan masalah penggauran atau sekurang-kurangnya mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru dalam berbagai pekerjaan menyebabkan terjadinya rantai perekonomian yang penting. Juga kesempatan-kesempatan ini menambah pendapatan, yang akhirnya menyebebabkan meningkatnya daya beli masyarakat. Hal ini mendorong meningkatnya produksi baik membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana-rencana yang telah ada untuk menutupi kebutuhan permintaan yang semakin meningkat yang disebabkan oleh bertambahnya pendapatan. Meningkatnya produksi ini tentu saja menuntut pekerja-pekerja baru yang memperoleh pendapatan baru dan menambah daya beli masyarakat, suatu hal yang termasuk menyebabkan terciptanya situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

2. QS Al-Hadiid ayat 7

ءَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَأنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ {7}

Artinya :
Berimanlah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta mu yang telah menjadikan kamu menguasainya. (QS Al-Hadiid ayat 7)

Manusia diperintahkan oleh penciptanya, empunya Harta itu, untuk memanfaatkan Harta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanya dan memperabaiki hidupnya dengan cara yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat temapat ia tinggal. Diterangkan juga bahwa manusia suatu saat kelak akan berdiri di hadirat Allah untuk memperhitungkan atas perbuatan yang pernah ia lakukan terhadap hartanya. Maka apabila manusia itu tidak melaksanakan kewajiaban-kewajiabannya dan tidak mematuhi perintah-perintah penciptanya. Pemilik harta itu maka Negara berkewajiban untuk bercampu tangan mengembalikannya kepada yang baik dan jalan yang benar, seperti bila ada orang menghambur-hamburkan hartanya atau memberikan hartanya kepada orang yang belum sempurna akalnya.

3. QS Al-Baqarah Ayat 278-279

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}

َ4. QS Al Hasyr Ayat 7
مَّآأَفَآءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَيَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {7}

consumer behavior on islamic economic

Sunguhpun pada saat sekarang, belum ada suatu negara Islam yang menerapkan ekonomi Islam sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ajaran yang dilaksanakan para sahabat, akan tetapi sebagian besar konsumen muslim tetap berpegang pada nilai-nilai agama mereka dalam konsumsi dan pengunaaan pendapatan mereka.
Dalam kerangka pikir sistem ekonomi islam, setiap individu senantiasa diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma tingkah laku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendidikan islam telah menjamin standar istimewa perilaku setiap orang dengan beberapa norma aturan yang cenderung dipaksakan, utamanya adalah yang didasarkan pada suara hati (kesadaran) setiap individu yang sesungguhnya. Aturan prinsip dari norma-norma tersebut adalah membentuk setiap individu sebagai anggota masyarakat muslim menjadi homo islamicus (manusia yang islami), yaitu memiliki tanggungjawab sosial dan berjiwa altruistik (senantiasa mengutamakan orang lain). Sikap dzolim dan sikap tamaknya homo economicus (manusia ekonomi) para ahli ekonomi neoklasik tidak serupa dengan sikap kedermawanan homo islamicus dalam melindungi dan memelihara keinginan seseorang dari godaan dan bujukan orang lain. Oleh karenanya, Afzal-ur-Rahman, pengarang buku “A Trilogy on The Islamic System” menyatakan bahwa norma-norma atau aturan-aturan Islam telah memberikan solusi praktis dalam menghadapi problematika ekonomi modern.
Norma-norma Islam di bidang ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu norma produksi, termasuk di dalamnya aktifitas perniagaan dan norma konsumsi. Adapun mengenai kategori pertama, sistem Islam telah menjelaskan bahwa seorang muslim bebas berproduksi dan berniaga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, namun kebebasan yang diberikan bukan tanpa batas melainkan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Di samping itu, yang bersangkutan juga dituntut sedini mungkin untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam usahanya. Artinya harus senantiasa memperhatikan upah yang adil bagi pekerja, harga yang rasional dan keuntungan yang normal, dan artinya juga yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan spekulasi dan monopoli atau melakukan transaksi-transaksi lain seperti kontrak asuransi atau transaksi lain yang tidak jelas yang mengandung unsur perjudian, ketidakpastian dan eksploitasi.
Sedang dalam hal aturan aktifitas konsumsi, setiap individu muslim dibatasi oleh tiga hal, yaitu pertama, setiap individu muslim tidak boleh melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya terlarang (baca : berbuat maksiat) seperti perzinaan atau komoditas lain seperti anggur yang mana kesemuanya dianggap terlarang oleh agama; kedua, setiap individu muslim harus bersikap hemat dan tidak berlebih-lebihan, karena salah satu dampak yang ditimbulkan dari perilaku hemat dalam mengkonsumsi adalah eliminasi problematika kelangkaan yang langsung dapat menurunkan agregat permintaan dan di sisi lain dapat mencegah terjadinya inflasi; ketiga, setiap individu muslim harus dapat bersikap dermawan terhadap sesama anggota masyarakat muslim lainnya yang kurang beruntung (baca : kaum dhu’afa). Dalam hal ini, seorang ahli ekonomi islam telah memberikan catatan khusus, bahwa idealnya dari sikap tersebut bukan hanya terletak pada pemberian dari mereka yang memililki kelebihan…penghasilan daripada pengeluarannya melainkan juga semangat untuk sama-sama berkorban dan saling berbagi atas apa yang dimiliki jika ada yang lebih membutuhkan.
Singkatnya adalah bahwa prinsip mendasar keseluruhan bentuk norma adalah menghidupkan sikap altruisme, karena segala problema sosial akan dapat dipecahkan manakala setiap individu dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Dalam hadis Nabi yang maknanya ”yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”.
Dari hadist di atas akan dapat dibedakan teori konsumsi Islam dan non Islam sebagaimana Metwally berpendapat dalam Islam ada beberapa alasan mengapa konsumen mengunakan tingkat utilitas pada hak miliknya, pertama, seorang konsumen Islam tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang dan penguasaan barang yang tahan lama. Perilaku ekonomi muslim berpusat pada kepuasan yang dikehendaki oleh tuhan, sehingga kepuasan seorang konsumen Islam tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi dan barang tahan lama yang dikuasai, akan tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah (Metwally,1995 : 26)
Kedua, jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsikan oleh seorang konsumen muslim sangat berbeda dengan konsumen non-muslim, sungguh pun barang dan jasa tersebut sama-sama tersedia (Metwally,1995 : 26). Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan seorang muslim untuk mengkonsumsi alkohol, daging babi, dan berjudi. Ketiga, seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman (konsumsi atau lainnya), premium yang di bayarkan oleh konsumen muslim karena menguasai barang tahan lama, bunga yang terkandung didalamnya harus dikeluarkan (Karim, 2002 : 65-67) . Hal ini tidak berarti barang dan jasa tersebut harganya menjadi gratis dalam ekonomi Islam, akan tetapi bunga digantikan oleh ongkos yang disebut bagi keuntungan (profit Sharing).
Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah tangga harus menentukan skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali dan Al-shatibi berpendapat bahwa berdasarkan Al-Qur’an dan hadist ada tiga hubungan kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu, necessities yang merupakan kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiataan keagamaan, kehidupan, kebebasan berfikir, keturunan, dan pencapaian kekayaan, kedua, conveniences adalah kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiataan pertama dan ketiga, refinements adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan assori kehidupan. (Sarkaniputra,1997: 26)
Dengan mengacu pada pengolongan yang diajukan oleh kedua ulama tersebut, barang-barang dapat di bagi dalam tiga golongan, pertama, kebutuhan dasar atau basic needs/necessities yang menentukan kelangsungan hidup manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan. kedua, kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan tanpa barang ini manusia masih hidup seperti pendidikan, mobil, komputer dan lain-lain. Ketiga, kebutuhan tertier adalah barang-barang merupakan asesori hidup seperti sound system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/kebahagian di hari tua (Siregar, 2005: 3).
Barang kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang absolut dibutuhkan oleh sebuah rumah tangga, sedangkan penggolongan barang kebutuhan sekunder dan kebutuhan barang tertier adalah relatif yang sangat tergantung dari hidup ini adalah suatu ujian dimana kita umatnya dibekali dengan berbagai perbedaan seperti mental, physical ability, social environment, power, knowledge, wealth dan lain-lain, sehingga setiap rumah tangga berbeda dalam menetapkan sebuah kebutuhan hidupnya tetapi yang terpenting bagaimana nanti ia mempertanggungjawabkan barang-barang tersebut di hari akhir (Metwally,1995 : 26).
Dalam mengkonsumsi ke tiga jenis barang tersebut, sebuah rumah tangga akan mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh modigliani (fisher, Dornbusch, 1984) begitu juga dalam rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan sholat dan puasa. Tanpa alokasi dana kepada kebutuhan dasar (basic needs) dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu dengan alokasi dana pada kebutuhan dasar yang dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya setelah mati.
Dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan keuntungan yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat. Sebagian dari keuntungan harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat tersebut merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian yang seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban, karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan keuntungan, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan dana untuk mengkonsumsi kegiatan haji yang memberinya kepuasan dalam bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumah tangga ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian surga dalam kehidupan setelah mati. Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mulya Siregar berpendapat dengan pola konsumsi yang seperti ini, Insya Allah umat Islam terhindar dari kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan didunia. Pada dasarnya sumber daya yang ada (resources) merupakan amanah dari Allah yang pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan nilai-nilai Islam, sumber-sumber daya ekonomi tersebut harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk riya belaka, pengeluaran-pengeluaran non-produktif dan spekulatif.
Inilah yang dikatakan Al-Ghazali dan Al-Shatibi sebagai mafasid atau disutilities, yaitu kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan peningkatan social welfare. Sedangkan dengan pola konsumsi yang Islami dapat memberikan masalih atau utilities karena pola ini memasukkan zakat sebagai kegiatan konsumsi yang dapat memberikan kepuasan disatu sisi, dan merangsang orang untuk giat bekerja disisi lain yang pada gilirannya akan menghasilkan peningkatan social welfare masyarakat. Bila rumah-tangga Muslim telah menyadari sepenuhnya bahwa pengeluaran zakat merupakan bagian dari kegiatan konsumsi untuk mencapai maksimum utility.

Consumer behavior on islamic economic

Sunguhpun pada saat sekarang, belum ada suatu negara Islam yang menerapkan ekonomi Islam sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ajaran yang dilaksanakan para sahabat, akan tetapi sebagian besar konsumen muslim tetap berpegang pada nilai-nilai agama mereka dalam konsumsi dan pengunaaan pendapatan mereka.
Dalam kerangka pikir sistem ekonomi islam, setiap individu senantiasa diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma tingkah laku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendidikan islam telah menjamin standar istimewa perilaku setiap orang dengan beberapa norma aturan yang cenderung dipaksakan, utamanya adalah yang didasarkan pada suara hati (kesadaran) setiap individu yang sesungguhnya. Aturan prinsip dari norma-norma tersebut adalah membentuk setiap individu sebagai anggota masyarakat muslim menjadi homo islamicus (manusia yang islami), yaitu memiliki tanggungjawab sosial dan berjiwa altruistik (senantiasa mengutamakan orang lain). Sikap dzolim dan sikap tamaknya homo economicus (manusia ekonomi) para ahli ekonomi neoklasik tidak serupa dengan sikap kedermawanan homo islamicus dalam melindungi dan memelihara keinginan seseorang dari godaan dan bujukan orang lain. Oleh karenanya, Afzal-ur-Rahman, pengarang buku “A Trilogy on The Islamic System” menyatakan bahwa norma-norma atau aturan-aturan Islam telah memberikan solusi praktis dalam menghadapi problematika ekonomi modern.
Norma-norma Islam di bidang ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu norma produksi, termasuk di dalamnya aktifitas perniagaan dan norma konsumsi. Adapun mengenai kategori pertama, sistem Islam telah menjelaskan bahwa seorang muslim bebas berproduksi dan berniaga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, namun kebebasan yang diberikan bukan tanpa batas melainkan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Di samping itu, yang bersangkutan juga dituntut sedini mungkin untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam usahanya. Artinya harus senantiasa memperhatikan upah yang adil bagi pekerja, harga yang rasional dan keuntungan yang normal, dan artinya juga yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan spekulasi dan monopoli atau melakukan transaksi-transaksi lain seperti kontrak asuransi atau transaksi lain yang tidak jelas yang mengandung unsur perjudian, ketidakpastian dan eksploitasi.
Sedang dalam hal aturan aktifitas konsumsi, setiap individu muslim dibatasi oleh tiga hal, yaitu pertama, setiap individu muslim tidak boleh melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya terlarang (baca : berbuat maksiat) seperti perzinaan atau komoditas lain seperti anggur yang mana kesemuanya dianggap terlarang oleh agama; kedua, setiap individu muslim harus bersikap hemat dan tidak berlebih-lebihan, karena salah satu dampak yang ditimbulkan dari perilaku hemat dalam mengkonsumsi adalah eliminasi problematika kelangkaan yang langsung dapat menurunkan agregat permintaan dan di sisi lain dapat mencegah terjadinya inflasi; ketiga, setiap individu muslim harus dapat bersikap dermawan terhadap sesama anggota masyarakat muslim lainnya yang kurang beruntung (baca : kaum dhu’afa). Dalam hal ini, seorang ahli ekonomi islam telah memberikan catatan khusus, bahwa idealnya dari sikap tersebut bukan hanya terletak pada pemberian dari mereka yang memililki kelebihan…penghasilan daripada pengeluarannya melainkan juga semangat untuk sama-sama berkorban dan saling berbagi atas apa yang dimiliki jika ada yang lebih membutuhkan.
Singkatnya adalah bahwa prinsip mendasar keseluruhan bentuk norma adalah menghidupkan sikap altruisme, karena segala problema sosial akan dapat dipecahkan manakala setiap individu dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Dalam hadis Nabi yang maknanya ”yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”.
Dari hadist di atas akan dapat dibedakan teori konsumsi Islam dan non Islam sebagaimana Metwally berpendapat dalam Islam ada beberapa alasan mengapa konsumen mengunakan tingkat utilitas pada hak miliknya, pertama, seorang konsumen Islam tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang dan penguasaan barang yang tahan lama. Perilaku ekonomi muslim berpusat pada kepuasan yang dikehendaki oleh tuhan, sehingga kepuasan seorang konsumen Islam tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi dan barang tahan lama yang dikuasai, akan tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah (Metwally,1995 : 26)
Kedua, jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsikan oleh seorang konsumen muslim sangat berbeda dengan konsumen non-muslim, sungguh pun barang dan jasa tersebut sama-sama tersedia (Metwally,1995 : 26). Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan seorang muslim untuk mengkonsumsi alkohol, daging babi, dan berjudi. Ketiga, seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman (konsumsi atau lainnya), premium yang di bayarkan oleh konsumen muslim karena menguasai barang tahan lama, bunga yang terkandung didalamnya harus dikeluarkan (Karim, 2002 : 65-67) . Hal ini tidak berarti barang dan jasa tersebut harganya menjadi gratis dalam ekonomi Islam, akan tetapi bunga digantikan oleh ongkos yang disebut bagi keuntungan (profit Sharing).
Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah tangga harus menentukan skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali dan Al-shatibi berpendapat bahwa berdasarkan Al-Qur’an dan hadist ada tiga hubungan kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu, necessities yang merupakan kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiataan keagamaan, kehidupan, kebebasan berfikir, keturunan, dan pencapaian kekayaan, kedua, conveniences adalah kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiataan pertama dan ketiga, refinements adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan assori kehidupan. (Sarkaniputra,1997: 26)
Dengan mengacu pada pengolongan yang diajukan oleh kedua ulama tersebut, barang-barang dapat di bagi dalam tiga golongan, pertama, kebutuhan dasar atau basic needs/necessities yang menentukan kelangsungan hidup manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan. kedua, kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan tanpa barang ini manusia masih hidup seperti pendidikan, mobil, komputer dan lain-lain. Ketiga, kebutuhan tertier adalah barang-barang merupakan asesori hidup seperti sound system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/kebahagian di hari tua (Siregar, 2005: 3).
Barang kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang absolut dibutuhkan oleh sebuah rumah tangga, sedangkan penggolongan barang kebutuhan sekunder dan kebutuhan barang tertier adalah relatif yang sangat tergantung dari hidup ini adalah suatu ujian dimana kita umatnya dibekali dengan berbagai perbedaan seperti mental, physical ability, social environment, power, knowledge, wealth dan lain-lain, sehingga setiap rumah tangga berbeda dalam menetapkan sebuah kebutuhan hidupnya tetapi yang terpenting bagaimana nanti ia mempertanggungjawabkan barang-barang tersebut di hari akhir (Metwally,1995 : 26).
Dalam mengkonsumsi ke tiga jenis barang tersebut, sebuah rumah tangga akan mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh modigliani (fisher, Dornbusch, 1984) begitu juga dalam rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan sholat dan puasa. Tanpa alokasi dana kepada kebutuhan dasar (basic needs) dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu dengan alokasi dana pada kebutuhan dasar yang dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya setelah mati.
Dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan keuntungan yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat. Sebagian dari keuntungan harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat tersebut merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian yang seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban, karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan keuntungan, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan dana untuk mengkonsumsi kegiatan haji yang memberinya kepuasan dalam bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumah tangga ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian surga dalam kehidupan setelah mati. Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mulya Siregar berpendapat dengan pola konsumsi yang seperti ini, Insya Allah umat Islam terhindar dari kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan didunia. Pada dasarnya sumber daya yang ada (resources) merupakan amanah dari Allah yang pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan nilai-nilai Islam, sumber-sumber daya ekonomi tersebut harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk riya belaka, pengeluaran-pengeluaran non-produktif dan spekulatif.
Inilah yang dikatakan Al-Ghazali dan Al-Shatibi sebagai mafasid atau disutilities, yaitu kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan peningkatan social welfare. Sedangkan dengan pola konsumsi yang Islami dapat memberikan masalih atau utilities karena pola ini memasukkan zakat sebagai kegiatan konsumsi yang dapat memberikan kepuasan disatu sisi, dan merangsang orang untuk giat bekerja disisi lain yang pada gilirannya akan menghasilkan peningkatan social welfare masyarakat. Bila rumah-tangga Muslim telah menyadari sepenuhnya bahwa pengeluaran zakat merupakan bagian dari kegiatan konsumsi untuk mencapai maksimum utility.

REVITALISASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARI’AH DI KOTA JAMBI

A. Latar Belakang
Tumbuh dan berkembangnya LKM di Indonesia tidak terlepas pengaruh faktor dari luar. Salah satu pendorong yang mengilhami perkembangan LKM di Indonesia, adalah keberhasilan Muhamad Yunus dalam mengembangkan LKM di Bangladesh yang terkenal dengan Grameen Bank (GB). Banyak dilihat orang sebagai model pendekatan yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan dan peningkatan perna perempuan, sehingga banyak pihak yang mereplikasi metode GB tersebut (Anonim, 2007).
Bagi Indonesia, persoalan keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaan lembaga keuangan mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para fakar dan praktisi ekonomi kerakyatan. Menurut Wijono (2005) LKM sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai pedesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam yang formal, non-formal sampaiinformal dengan karakteristiknya masing-masin. Meskipun karakteristik LKM beragam namun fungsinya sama sebagai intermediasai suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang fektif untuk mengentaskan kemiskinan karena yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan melalui LKM memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, mmbangun asset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan ektrenal. LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan. (Anonim, 2007).
Pengalaman selama krisis ekonomi telah menunjukan kualitas daya tahan lembaga keuangan Mikro ditengah rontoknya ‘Konglomerasi Kakap’. LKM merupakan bagian terbesar aktivitas ekonomi rakyat kecil di Indonesia mencapai lebih 34 juta unit, sementara usaha kecil mencapai lebih dari 45.000 unit. Meski keberadaanya seringkali diabaikan, dengan sebutan ‘informal’, ‘tidak siginifkan’, dan ‘berkontribusi kecil’ namun sesungguhnya ia merupakan fundamental perekonomian yang riil dari bangsa ini. Dinamika LKM inilah yang secara kongkret menunjukan realitas ‘kesejahteraan’ mayoritas masyarakat yang sebagian besar hidup di pedesaan.
Meski LKM – yang digantungi ‘harapan hidup’ banyak rakyat- terus bertumbuh namun dalam perkembangannya mempunyai banyak masalah; dari rendahnya jangkauan pasar untuk menjual produk yang dihasilkannya, kurangnya pelayanan-regulasi-dukungan negara dan aparaturnya, keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia untuk mengelolanya, kurang memadainya kecukupan barang input dan teknologi sampai persoalan keterbatasan modal usaha yang tersedia.
Berkaitan dengan pengembangan usaha maka mau tidak mau harus melihat aspek ketersediaan modal. Berbicara pemenuhan kebutuhan modal bagi usaha ini akan berkait langsung dengan realitas Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada. Rata-rata kebutuhan dana untuk usaha mikro adalah Rp 1 juta per unit usaha sementara untuk usaha kecil sebesar Rp 50 juta. Dalam bentuk kelembagaan bank yang bersentuhan langsung dengan UMKM tahun 2005 bisa dijumpai lebih 2.427 BPR, 86 BPRS, 3.694 BRI Unit dan 5.345 Badan Kredit Desa (BKD). Dalam bentuk non-bank; secara formal terdapat Koperasi dengan 1.097 unit dan 1.620 Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) sedangkan yang non-formal yang masyur adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang mencapai 3.037 unit.
Dari data dilapangan harus diakui bahwa BRI Unit Desa sudah cukup ‘menyentuh’ komunitas pedesaan -terutama untuk pelayanan penabungan (saving)-. Namun kelemahan sistem ‘perbankan besar’ telah menyerap tabungan masyarakat pedesaan ke kota dan hanya sedikit dana yang dapat diakses oleh masyarakat pedesaan. Apakah BRI Unit Desa sudah dapat ‘membantu’ kelompok yang paling miskin di akar rumput?
Pertanyaan berikutnya, apakah BRI, BPR, BKD dan LDKP bisa menolong masyarakat miskin yang kelaparan tanpa harus mengembalikan? Padahal faktanya rakyat yang berada distrata bawah membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup dan kebutuhan darurat. Apakah layak masyarakat muslim disuguhi ‘pinjaman berbunga’ oleh BRI, BPR, BKD, LDKP dan sejenisnya padahal Fatwa MUI telah jelas ?
Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir sekitar 15 tahun. BMT telah mengalami ujian yang panjang; sebagai bukti dari euforia era kejayaan 8.000 BMT diakhir pemerintahan Orde Baru (proyek politis ?) sampai saat ini, yang tersisa hanya 3.000-an setelah memasuki fase ‘musim gugur’. BMT memiliki keunggulan yang utuh bila dibandingkan dengan LKM yang lain. BMT bisa memfungsikan diri sebagai jasa keuangan, dapat terjun dan bergerak langsung di sektor riil, juga bisa memberikan dana sosial. Fungsi terakhir inilah yang tidak dimiliki oleh LKM yang lain – bahkan terkadang LKM hanya berfungsi sebagai lembaga jasa keuangan ‘pengutip bunga’ dan tidak bergerak disektor riil.
Konsep yang paling utama LKM adalah BMT sebagai jaminan sosial melalui pengelolaan dana Baitul Maal. Jaminan sosial yang riil adalah subsidi kepada rakyat kecil melalui penghimpunan dana Zakat, Infaq, Shodaqoh serta Wakaf. Selain itu BMT potensial juga mengembangkan dana ‘tabaru’ yang disetor oleh anggota sebagai ‘asuransi bersama’ yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi darurat. Konsep ‘asuransi rakyat kecil’ ini merupkan pemanfaatan jaringan ukhuwah diantara anggota untuk dapat saling menanggung, sehingga dapat menjamin distribusi rasa keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat.
Bagian penting lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (unit Bisnis). Didalamnya BMT berpeluang mengembangkan berbagai jenis usaha; aktivitas Jual Beli melalui akad Murabahah, Ba’i as-Salam, Ba’i al-Istisna; aktivitas Investasi dengan akad Mudharabah dan Musyarakah atau juga Jasa seperti Ijarah, Rahn, Hawalah dll.
Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia dewasa ini (Madjid, 2000). BMT mampu memberikan dana & tabaru’ sosial, melayani jasa keuangan dan menggerakkan sektor riil.
Keadaan perekonomian yang diubah dengan cepat senantiasa berdampak terhadap aspek kehidupan masyarakat baik dampak positf maupun negative. Adanaya keterbatasan dalam system perekonomian menimbulkan kesempatan yang semakin terbuka bagi para pelaku ekonomi. Disisi ijin, hal ini menimbulkan persaingan didalam merebut kesempatan atau peluang yang ada. Namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa yang kondisinya social ekonomi sebagian besar masyarakat kurang mengembirakan.Banyak hal yang menjadi penyebab salah satu adalah system lembaga keuangan dan perbaikan yang belum terjangkau kepentingan umat dilapisan bawah.
Berdampak dari hal tersebut maka pada tanggal 5 juli bertepatan dengan tanggal 21 rabiul awal tahun hijriah yang didirikannya koporasi Baitul Mal Wat Tamwil ( BMT ) Al-islhah Jambi yang bergerak dibidang simpan pinjam dan usaha rill yang sesuai dengan syariat islam dengan 22 orang pendiri. Pada berdirinya koperasi BMT Al-ishlah jambi yang bebentuk KSM ( koperasi swadaya masyarakat ) yang didirikan pada tahun 1998 dengan nama KSM tanggal 5 juli 1999 berubah menjadi koperasi yang berbeda hukum dan berganti nama menjadi koperasi Baitul Mal Wat Tamwil ( BMT).
Beberapa potensi dalam LKMS seperti BMT, KSP syari’ah dan lain sebagainya di Jambi memiliki potensi besar secara politis pimpinan admisntratif kooferatif terhadap perkembangan lembaga keuangan Mikro syari’ah terukur Departemen peridustrian dan Koperasi provinsi Jambi terus melaksanakan pelatihan pola sistem syari’ah bagi pengurus LKM yang berada di Jambi, frekwensi pelatihan yang dalam 3 bulanan selalu diadakan.
Selain itu, LKM syari’ah mulai bermunculan di Jambi hal ini dapat menjadi potensi akan keinginan untuk melaksanakan sistem lembaga keuangan yang sesuai syari’ah dari beberapa bulan terakhir ada 3 LKMS yang beroperasi kesemuanya berada di Kota Jambi, 2 buah di kecamatan telanai pura dan 1 buah di kecamatan Jambi selatan. Jumlah LKM yang mengunakan sistem pola syariah ada 15 buah merupakan potensi bagi pengembangan dunia usaha dengan pendanaan syari’ah.
Namun para pengusaha LKM ini mengeluh tentang seretnya pengucuran kredit dari sektor perbankan untuk usaha mereka, sedangkan pasar modal bisa berkembang dengan baik. Keluhan utama para pengusaha di dalam sektor riil adalah lemahnya daya beli masyarakat, sehingga usaha mereka tidak prospektif. Buruknya iklim investasi, ekonomi biaya tinggi, ketidakjelasan regulasi, dan infrastruktur yang tidak mencukupi, semua ini membuat para investor semakin enggan untuk menanamkan investasinya di sektor riil. Akibat selanjutnya adalah pengangguran semakin menggelembung, kemiskinan meluas, kerawanan sosial mudah tersulut dan ini membuat suasana semakin tidak kondusif untuk investasi, lebih parah lagi regulasi tidak menjamin keamanan investor dan korupsi merajalela yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan sektor riil adalah karena perbankan kurang mendukung investasi dan pendanaan modal kerja di sektor ini. Meskipun data Bank Indonesia menunjukkan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) sektor perbankan telah mengalami peningkatan dari 43,5% pada tahun 2003 menjadi 61.6% pada tahun 2006, tetapi hal ini masih menunjukkan sebagian porsi kredit perbankan belum tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan. Hingga Februari 2007, dari Rp 1.284 triliun jumlah dana yang terhimpun, dana yang dikucurkan hanya Rp 826 triliun dan ironisnya sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan industri manufaktur nyaris tidak mendapat kucuran dana tersebut (Wawa, 2007).
Kondisi tersebut tidak murni disebabkan perbankan tidak mau menyalurkan dana, tetapi juga dari sisi sektor riil tidak mau menyerap seluruh jatah dana yang disalurkan. Perbankan malas menanggung risiko, karena penyaluran dana di sektor riil dianggap tidak terlalu menguntungkan dan malah berpotensi menimbulkan dana bermasalah. Padahal perbankan dituntut pemerintah (non performing loan/NPL) untuk mencapai rasio NPL hingga tinggal 5% pada Juni 2003 (Abdullah, 2003).
Penyaluran dana ke berbagai industri manufaktur, pertanian berskala kecil sampai menengah yang merupakan basis kekuatan sektor riil dianggap beresiko. Dilema perbankan sebagai lembaga intermediasi disebabkan perbankan tidak mempunyai informasi yang sempurna terhadap lingkungan yang dihadapi, terutama sektor riil. Perbankan sulit untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya mengenai debitur untuk mendukung kelayakan pemberian dana. Selain itu, perbankan sendiri tidak mempunyai cukup informasi mengenai bidang industri yang berprospek karena pihak perbankan.

teologi ekonomi islam

Teologi dan tauhid
Teologi berasal dari kata theo berarti tuhan dan logi berarti ilmu. Logi atau ilmu memiliki tiga arti knowledge, skill dan ability. Theo dan ke tiga makna logi berpadu menjadi pemahaman yang comfrehensif, pertama, theo dan Knowledge yang satu merupakan pengetahuan basic berbentuk teori. Ke dua, theo dan skill merupakan kecakapan, kepandaian, ketrampilan untuk menunjukkan (to show something in) keahlian yang dimiliki pada diri seseorang tentang Tuhan, talenta dalam menafsirkan makna believing god dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dan ke tiga, theo dan ability sebagai kecakapan, bakat, kemampuan, ketangkasan dan kesanggupan merujuk pada inner beauty seseorang yang berasal dari fua’da, lubba dan qolb, untuk sampai pada inner tersebut maka diperlukan knowledge, skill, ability dan logi, karena beberapa dalil atau petunjuk tentang makna-makna tersebut jelas adanya semisal sebuah petunjuk yang diimani oleh teolog man arafa nafsah faqod arafa rabbaha (barang siapa yang mengetahui tentang dirinya maka dia akan mengetahui siapa tuhannya).
Oleh karena itu Teologi ekonomi Islam berbasis pada Al Quran sebagai filsafat fundamental dari ekonomi Islam (39:38), hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi (taqdiri), baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam konteks ini Masudul ‘alam Chudury, tauhid adalah unity dari sebuah repleksi ketuhanan dimana manusia dalam ekonomi syariah harus mengamalkan relasi di antara manusia sekaligus manifestasi relasi dengan Tuhan. Tidak boleh tidak secara Praktis tauhid ekonomi atau teologi ekonomi islam itu didasarkan pada prinsip social justice.
Makanya prinsip teologi ekonomi Islam itu menghubungkan kewajiban kita kepada manusia juga merupakan kewajiban kita kepada Allah SWT. Allah Swt sebagai Tuhan memiliki banyak hak, sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban memenuhi hak Tuhan atas kita. Tuhan memiliki hak ekonomi, memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkat taraf hidup, melawan setiap monopoli asset-aset ekonomi Tuhan pada sepasang tangan.
Dalam tradisi klasik bertuhan adalah hubungan makhluk dengan sang khalik, “hubungan yang privacy”, antara seorang hamba dengan Tuhannya lebih dekat dari “urat leher” saat berada dalam bilik sempit, gelap dan sepi. Dalam bahasa arabnya dikenal dengan berkhalwat, sebuah metode untuk saat ini perlu improvisasi, sehingga praktek teologis dalam kehidupan modern sarat dengan masalah yang kompleks dan paradok, maka bertuhan bagi manusia modern proxy semua aktivitas mampu memberikan nuansa spritualitas, bukan hanya dalam dasar kognitif saja namun mungkin dalam tataran teologis.
Teologi ekonomi atau Tauhid ekonomi
Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islam yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Di antara pemikiran tentang konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, ia bermakna kesatuan (unit), dalam konteks ekonomi yang diringkas hal yang terpenting dari seluruh essensi, basis dan dasar ekonomi Islam itu mengajarkan manusia bagaimana berhubungan dan mengadakan usaha dengan orang lain dalam cahaya dari hubungan dengan Allah SWT.
Dalam tataran ini yang disebut teologi ekonomi Islam. Sebagaimana yang diungkapkan Agustianto dalam teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. (QS. 14:34). Sehingga sumber daya tersebut tidak akan terjadi kelangkaan (scarcity). Kelangkaan-kelangkaan sumber daya yang kita alami tidak dapat disimpulkan dari kelangkaan dari sumber-sumber daya yang ada tetapi kelangkan tersebut terjadi karena mismanage, salah kelola potensi sumber daya alam yang ada. Salah kelola sumber daya yang ada bisa saja terjadi dikarenakan supplayless, unbalanced distribution, bearing sources dan monopoly.
Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi kesejahteraan dalam bukunya on ethic and economic menjelaskan ilmu ekonomi itu memiliki dua asal usul yang keduanya terkait dengan politik, meskipun dengan cara yang berbeda, pertama etika, dan kedua berasal dari rekayasa. Asal usul yang kedua dari ilmu ekonomi adalah pendekatan rekayasa, pendekatan ini ditandai dengan usaha manusia dalam melakukan pencapaian untuk memodifikasi suatu model ekonomi demi tujuan mencapai kesejahteraan social. Baik bersifat teknis yang digunakan dalam policy Negara atau pun analisis matematika statistika ekonomi memiliki peran dalam perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendekatan etis dan rekayasa yang menjadi asal usul ilmu ekonomi tersebut dapat mencapai suatu masyarakat ideal.
Dalam hal ini etika yang menyangkut perilaku-perilaku rasional manusia akan berhadapan dengan kepentingan diri, apa yang didahulukan antara perilaku rasional etis atau kepentingan diri?
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu melakukan pembenaran dengan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Secara teologis Islam memiliki tatacara muamalah, dimana muamalah didasarkan pada prinsip tauhid, bahwa kekayaan alam ini adalah anugrah dari sang pencipta dan bukanlah mutlak milik manusia, sehingga ada anjuran lain yang lebih penting yakni bermuamalah dengan moral etika yang diinterpretasikan dari teologi.
Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia.
Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang atau tidak jujur lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Wallahu ‘alam

THE ECONOMIC SYSTEM IN CONTEMPORARY ISLAMIC THOUGHT (SISTEM EKONOMI MENURUT PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER)

THE ECONOMIC SYSTEM IN
CONTEMPORARY ISLAMIC THOUGHT

(SISTEM EKONOMI MENURUT PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER)

Sejak akhir tahun 1940, khususnya pada pertengahan tahun 1960 banyak sekali selebaran berupa pamflet, artikel dan buku yang memperlihatkan kecenderungan meningkatnya bentuk kumpulan tulisan tentang sesuatu yang sekarang dikenal dengan istilah Ekonomi Islam. Literatur tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli yang menyebut dirinya dengan Ahli Ekonomi Islam, dimaksudkan sebagai format cetak biru sistem ekonomi yang sesuai dengan sumber-sumber Islam yang asli. Adapun dasar gagasan utama dari sistem tersebut adalah bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktrifitas ekonominya senantiasa disesuaikan dengan tatanan norma perilaku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan dua dasar gagasan utama lain yang ditawarkan adalah zakat -sejenis pajak yang dianggap sebagai dasar kebijakan fiskal dalam Islam-, dan larangan bunga (riba) yang dianggap sebagai centerpiece (titik sentral) kebijakan moneter dalam Islam. Dan sebagian besar ahli ekonomi islam banyak mencurahkan pemikirannya ke dalam tiga hal tersebut –yaitu norma perilaku, zakat dan larangan bunga- sebagai sokoguru (pilar) sitem ekonomi islam.
Ada beberapa orang pengamat telah menyatakan keberatannya bahwa klaim dan rancangan para ahli ekonomi islam hanya berbasis pada wahyu Tuhan yang tidak terbantahkan, dan yang demikian telah dibantah oleh Timur Kuran dengan menyatakan bahwa para ahli ekonomi Islam sebagaimana halnya dengan para ilmuwan sosial sekuler, senantiasa membangun pemikiran-pemikiran yang ditunjang atas dasar logika, teori keilmuan dan bukti-bukti empiris. Maka tidak benar, jika semua konsep pemikiran ekonomi islam yang telah dirancang oleh para ilmuwan muslim hanya semata-mata didasarkan pada wahyu Tuhan tanpa ditopang dengan logika, teori keilmuan ataupun bukti-bukti empiris.

NORMA-NORMA TINGKAH LAKU

Dalam kerangka pikir sistem ekonomi islam, setiap individu senantiasa diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma tingkah laku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendidikan islam telah menjamin standar istimewa perilaku setiap orang dengan beberapa norma aturan yang cenderung dipaksakan, utamanya adalah yang didasarkan pada suara hati (kesadaran) setiap individu yang sesungguhnya. Aturan prinsip dari norma-norma tersebut adalah membentuk setiap individu sebagai anggota masyarakat muslim menjadi homo islamicus (manusia yang islami), yaitu memiliki tanggungjawab sosial dan berjiwa altruistik (senantiasa mengutamakan orang lain). Sikap dzolim dan sikap tamaknya homo economicus (manusia ekonomi) para ahli ekonomi neoklasik tidak serupa dengan sikap kedermawanan homo islamicus dalam melindungi dan memelihara keinginan seseorang dari godaan dan bujukan orang lain. Oleh karenanya, Afzal-ur-Rahman, pengarang buku “A Trilogy on The Islamic System” menyatakan bahwa norma-norma atau aturan-aturan Islam telah memberikan solusi praktis dalam menghadapi problematika ekonomi modern.
Norma-norma Islam di bidang ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu norma produksi, termasuk di dalamnya aktifitas perniagaan dan norma konsumsi. Adapun mengenai kategori pertama, sistem Islam telah menjelaskan bahwa seorang muslim bebas berproduksi dan berniaga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, namun kebebasan yang diberikan bukan tanpa batas melainkan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Di samping itu, yang bersangkutan juga dituntut sedini mungkin untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam usahanya. Artinya harus senantiasa memperhatikan upah yang adil bagi pekerja, harga yang rasional dan keuntungan yang normal, dan artinya juga yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan spekulasi dan monopoli atau melakukan transaksi-transaksi lain seperti kontrak asuransi atau transaksi lain yang tidak jelas yang mengandung unsur perjudian, ketidakpastian dan eksploitasi.
Sedang dalam hal aturan aktifitas konsumsi, setiap individu muslim dibatasi oleh tiga hal, yaitu pertama, setiap individu muslim tidak boleh melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya terlarang (baca : berbuat maksiat) seperti perzinaan atau komoditas lain seperti anggur yang mana kesemuanya dianggap terlarang oleh agama; kedua, setiap individu muslim harus bersikap hemat dan tidak berlebih-lebihan, karena salah satu dampak yang ditimbulkan dari perilaku hemat dalam mengkonsumsi adalah eliminasi problematika kelangkaan yang langsung dapat menurunkan agregat permintaan dan di sisi lain dapat mencegah terjadinya inflasi; ketiga, setiap individu muslim harus dapat bersikap dermawan terhadap sesama anggota masyarakat muslim lainnya yang kurang beruntung (baca : kaum dhu’afa). Dalam hal ini, seorang ahli ekonomi islam telah memberikan catatan khusus, bahwa idealnya dari sikap tersebut bukan hanya terletak pada pemberian dari mereka yang memililki kelebihan…penghasilan daripada pengeluarannya melainkan juga semangat untuk sama-sama berkorban dan saling berbagi atas apa yang dimiliki jika ada yang lebih membutuhkan.
Singkatnya adalah bahwa prinsip mendasar keseluruhan bentuk norma adalah menghidupkan sikap altruisme, karena segala problema sosial akan dapat dipecahkan manakala setiap individu dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.

ZAKAT
Aspek mendasar dari adanya pemberlakuan kewajiban zakat sebagaimana dinyatakan oleh para ahli ekonomi islam adalah bahwa zakat diambilkan dari sebagian harta kekayaan dan sumber penghasilan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dalam prakteknya, penerapan zakat ini dibarengi pula dengan pemberlakuan berbagai macam pajak seperti ushr, dan lainnya yang dikumpulkan dengan menggunakan beberapa istilah.
Adapun harta kekayaan yang dikenai kewajiban zakat adalah terdiri dari barang logam berharga dan ternak dengan nisab (ketentuan minimum) yang berbeda. Sedangkan orang-orang yang berhak memperoleh zakat ada beberapa kategori, yaitu kaum fakir, miskin, pengangguran, anak yatim piatu, budak, musafir, orang yang terlilit hutang, muallaf dan amil.
Fungsi zakat sangat dominan dalam mempengaruhi penghasilan masyarakat dan menjadi pusat layanan jaminan sosial. Lain daripada itu, zakat juga dapat merangsang permintaan selama para ashnaf (yang menerima zakat) relatif dapat membatasi kecenderungan hatinya dalam mengkonsumsi. Dalam hal ini pula, zakat dapat dijadikan sebagai pajak alternatif, hanya saja para ahli ekonomi islam memandang bahwa yang demikian kurang tepat karena zakat dominan dengan aspek fitrah agama. Dan dalam hal ini Afza-ur Rahman berpendapat bahwa pada kenyataannya zakat dibayarkan adalah untuk mencari ridho Allah semata sehingga mereka dapat memanfaatkan hartanya dan meningkatkan daya produktifitasnya dalam berusaha dengan sebaik-baiknya sehingga jika mereka dapat memiliki harta kekayaan yang mencukupi maka mereka tidak akan lalai membayar zakat sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan.

LARANGAN BUNGA (RIBA)
Sebagaimana kita ketahui, sepanjang sejarah, permasalahan institusi bunga sebagai sumber potensial masih menjadi perdebatan di mana-mana, bahkan sampai detik ini juga. Dunia Barat dengan kecerdikannya telah memisahkan kedudukan moral dengan bidang ekonomi dan mempergunakan jasa bunga. Dan sekarang, penerapan konsep bunga telah meluas dan bersifat permanen, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global, meskipun banyak hal-hal controversial yang ditimbulkan dalam mengatasi factor yang menentukan di bidang perekonomian sehingga dapat menjaga optimalisasi nilai harga.
Dalam hal ini, sekolah-sekolah ekonomi islam lebih banyak memiliki pandangan bahwa konsep bunga adalah bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bukan tidak dapat dimusnahkan, dan al-Qur’an secara tegas melarang bunga. Ada beberapa masalah yang timbul berkaitan dengan hal bunga, antara lain adalah adanya perolehan uang atau modal tanpa adanya usaha, proses pemindahan harta kekayaan dari si miskin kepada si kaya melalui penambahan yang tidak berimbang dalam distribusi kekayaan dan bunga telah merubah perilaku seseorang menjadi cenderung mencintai uang secara berlebihan serta gemar menimbun harta sehingga menjadi orang yang egois, keras hati, kikir dan berpikiran sempit.
Lain daripada itu, bentuk keburukan lain yang ditimbulkan oleh konsep bunga adalah terampasnya akses masyarakat dalam bekerja, maraknya usaha-usaha kaum lintah darat (rentenir) dan menyebabkan dunia perbankan melakukan tindakan-tindakan yang tidak produktif dalam penggunaan modal.

BEBERAPA KRITIK DAN SARAN DARI TIMUR KURAN
Dari beberapa tulisan Timur Kuran tentang tiga pilar utama dalam sistem ekonomi Islam, yaitu norma-norma perilaku, zakat dan larangan bunga (riba) ada beberap kritik dan saran yang patut kami sampaikan, antara lain adalah sebagai berikut :

A. Norma-norma Perilaku :
1. Implikasi norma-norma dalam sistem islam cenderung mendua dalam beberapa sumber tekstualnya yang sering dijadikan sandaran dalam tataran praksis, hal ini disebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap norma-norma yang relevan dalam suatu kondisi dan ketidakjelasan norma yang baku telah mempengaruhi sikap dan persepsi mereka ketika terjadi perubahan sewaktu-waktu. Oleh karenanya harus ada rancang bangun prinsip-prinsip keadilan yang sama dan efisien berikut aplikasinya;
2. Penerapan norma-norma islam dalam masyarakat modern harus senantiasa memperhatikan hubungan timbal balik antara ukuran besar-kecilnya komunitas dan efektifitas norma altruisme. Untuk itulah diperlukan adanya rintisan pembentukan jaringan tim kerja yang solid dalam membangun tatanan dan jalinan antara daerah-daerah kediaman masyarakat yang tersebar luas dengan memulai dari masing-masing individunya;
3. Meningkatkan peran negara dalam penerapan dan sosialiasasi norma-norma sistem ekonomi islam, khususnya dalam melegitimasi kegiatan-kegiatan bisnis yang sesuai dengan syari’at atau yang bertentangan dengan syari’at.

B. Kewajiban Zakat :
1. Distribusi zakat bukan dari orang miskin kepada orang kaya;
2. Cakupan zakat sangat terbatas, hanya sesuai pada zaman Rasulullah saw. Padahal kehidupan perekonomian senantiasa tumbuh dan berkembang, maka penerapan kewajiban zakat harus dapat mencapai seluruh sumber penghasilan yang riil di kalangan masyarakat dan tidak terbatas pada apa yang telah ditentukan oleh kitab-kitab fikih terdahulu, artinya ada ijtihad tentang harta yang dikenai kewajiban zakat selain dari yang sudah ada;
3. Nisab zakat sebaiknya dengan prosentase uang, studi kasus di negara Malaysia dan Arab Saudi.

C. Larangan Bunga :
1. Larangan bunga dapat diterapkan secara efektif di kalangan komunitas yang besar dan heterogen;
2. Penerapan pola hitung bagi hasil melalui prinsip mudharabah sebagai alternatif bank yang meniadakan bunga;
3. Setiap ahli ekonomi islam harus mampu menjabarkan secara kontekstual isi kandungan al-Qur’an sebagai kitab prinsip-prinsip moral dalam Islam;
4. Harus ada keseriusan dari kalangan ahli ekonomi islam dalam menggali cetak biru nilai-nilai ekonomi islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah kemudian direalisasikan secara komprehensif dalam kerangka ekonomi.

Pilkada Jambi dan harapan masyarakat miskin kota Jambi

Pilkada 2005 dan harapan kaum miskin di perkotaan Jambi.
oleh :Sucipto, MA

Pilkada  walikota jambi akan telah dimulai, bagaimanapun kaum-kaum politisi mulai melakukan gerilya politik bervarian, mulai dari medesak untuk bersumpah bagi siapa yang terlibat dalam team sampai ke para voter-voter yang akan  meilih nantinya.. tetapi tulisan ini akan melihat the other side of interest dari masyarakat jambi yang masih perlu untuk di kembangan.

Tulisan pheni khalid tentang polisi cepek (2001) yang menginsipirasi tulisan ini, Sopir angkot adalah sebuah pekerjaan di sector informal, pekerjaan ini yang dalam kesehariannya lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hampir dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang sopir angkot sering dikaitkan dengan kemiskinan. Dengan kata lain, potensi ekonomi mereka lemah dan kurang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan hidup. Ada kecendrungan mereka pasrah serta apatis menghadapi masa depan dan menyerah pada nasib (lewis, 1969). Oleh karena itu, dalam perencanaan penataan ruang perkotaan keberadaan mereka cenderung diabaikan, sehingga kepentingan mereka sering dikorbankan untuk kepentingan masyarakat kota yang lain.
Kaum miskin di kota bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Upaya yang mereka lakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan berusaha memperbaiki nasib dengan berupaya beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain (Sethuraman, 1981: 198; breman, 1985: 1740). Golongan miskin, meskipun sebagian besar mencari nafkah di sector informal, penghasilan keluarga mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok bawah pekerja sektor formal. Atas dasar pandangan ini maka potensi ekonomi mereka perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan perkotaan.
Struktur Pekerjaan.
Pekerjaan merupakan variabel paling sulit diterangkan dan dikelompokkan karena begitu beranekaragam, terutama bagi masyarakat miskin yang urban di perkotaan.
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam tulisan ini dengan mengklasifikasi pekerjaan. Pertama, klasifikasi ISCO tidak membedakan antara pegawai negeri dan pegawai swasta untuk jenis pekerjaan yang sama. Kedua, status pekerjaan diperhatikan secara khusus dalam analisis. Dalam hal ini dibedakan antara mereka yang bekerja untuk pemerintah atau perusahaan.
Sopir taksi dan sopir angkot (yang bekerja untuk seorang majikan dengan system pembayaran berdasarkan setoran) dan sopir mobil, bis atau truk yang bekerja untuk perusahaan dengan gaji yang dibayar menurut setiap perjalanan atau secara tetap setiap minggu atau bulan. Kedua kelompok sopir ini diduga mempunyai tingkat dan stabilitas penghasilan serta jam kerja yang berbeda. Sopir angkot agak cocok dikelompokkan sebagai sector informal daripada formal. Dapat ditambahkan bahwa karena pentingnya tukang ojek di kota-kota, kelompok ini diberikan kode khusus sebagai pekerja angkutan.
Masalah social-ekonomi sopir
Sebuah tradisi yang selalu dirasakan dalam dunia sopir, dimana komunitas sopir ini lebih suka berkumpul dalam lingkup etnis masing-masing, sifat kedesaannya yang dibangun membuat mereka sering tertutup dengan masyarakat lain, pergaulan atas dasar kepentingan ekonomi semata bila mereka bergaul dengan kelompok yang lain.
Kaum miskin di perkotaan biasanya timbul, tumbuh dan berkembang disebabkan secara politik terpinggirkan, seringkali mereka dianggap sebagai sebuah penyangga dalam system kekuasaan, bangunan sistem jauh sekali dari nilai nilai kemanusian namun terkadang apakah dapat dianggap adil jika kita telah memberi 0,00..% kekuasaan dan kekayaan kita, jauh lebih kecil nilainya dari apa yang pernah kita dapatkan dari mereka, dan pendapatan itupun terkadang kita lupa.
Dampak industrialisasi di pedesaan beberapa decade ini membantu akselarisasi urbanisasi, akan juga berpengaruh pada pembentukan struktur ruang kerja informal tidak sah dengan peningkatan ruang kerja tersebut telah melampaui batas dan mengkhawatirkan.
Peningkatan untuk beberapa tahun terakhir ini, mengakibatkan pada permintaan bursa kerjanya, yang dalam hal ini telah menciptakan kesulitan yang mendalam bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sector ini. Kesulitan ini berkaitan masalah penangganan dengan pendekatan memberikan peluang kerja, PKT, JPS dan maupun dari instansi-instansi social lainnya ternyata belum mampu menciptakan bursa kerja informal baru yang sah.
Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target sisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Kaum-kaum miskin di perkotaan, dengan beberapa masalah, cita-cita atau impian mereka, di antara masalah dan impian itu adalah ;
1. Kelembagaan di tingkat mereka yang masih lemah dengan kemampuan personal yang belum mengerti arah, tujuan, harapan dan cita-cita hidup dan sulit mengangkat martabat dan status social mereka.
2. Kaum miskin kota belum mampu mandiri untuk mengangkat status social-ekonomi mereka sehingga cenderung ketergantungan pada pihak-pihak pemilik modal, sedangkan para pemilik modal memiliki kecenderungan mendiskriminasi, melecehkan, memaksa yang jauh dari nilai-nilai kemitraan dan kemanusian dimana yang seharusnya antara pemilik modal dan pihak pekerja adalah mitra.
3. Kebutuhan akan Penguatan komunitas secara lembaga dan personal bertujuan agar di masa yang akan datang masalah-masalah diskriminasi kebijakan yang terjadi di komunitas ini akan berubah dan masyarakat miskin di perkotaan bisa berdaya dan mandiri.
Masyarakat miskin diperkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya, perlu untuk dikupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka, mengembangkan system nilai solidaritas sosial sebagai agenda terpenting para candidat yang terpilih nantinya pasca pilkada.
Pasca Pilkada ini diharapkan dapat memberi nuansa baru dalam gerakan pemberdayaan masyarakat akar rumput, lihat saja salah satu yang kita anggap masyarakat akar rumput yaitu komunitas sopir angkot.