Consumer behavior on islamic economic

Sunguhpun pada saat sekarang, belum ada suatu negara Islam yang menerapkan ekonomi Islam sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ajaran yang dilaksanakan para sahabat, akan tetapi sebagian besar konsumen muslim tetap berpegang pada nilai-nilai agama mereka dalam konsumsi dan pengunaaan pendapatan mereka.
Dalam kerangka pikir sistem ekonomi islam, setiap individu senantiasa diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma tingkah laku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendidikan islam telah menjamin standar istimewa perilaku setiap orang dengan beberapa norma aturan yang cenderung dipaksakan, utamanya adalah yang didasarkan pada suara hati (kesadaran) setiap individu yang sesungguhnya. Aturan prinsip dari norma-norma tersebut adalah membentuk setiap individu sebagai anggota masyarakat muslim menjadi homo islamicus (manusia yang islami), yaitu memiliki tanggungjawab sosial dan berjiwa altruistik (senantiasa mengutamakan orang lain). Sikap dzolim dan sikap tamaknya homo economicus (manusia ekonomi) para ahli ekonomi neoklasik tidak serupa dengan sikap kedermawanan homo islamicus dalam melindungi dan memelihara keinginan seseorang dari godaan dan bujukan orang lain. Oleh karenanya, Afzal-ur-Rahman, pengarang buku “A Trilogy on The Islamic System” menyatakan bahwa norma-norma atau aturan-aturan Islam telah memberikan solusi praktis dalam menghadapi problematika ekonomi modern.
Norma-norma Islam di bidang ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu norma produksi, termasuk di dalamnya aktifitas perniagaan dan norma konsumsi. Adapun mengenai kategori pertama, sistem Islam telah menjelaskan bahwa seorang muslim bebas berproduksi dan berniaga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, namun kebebasan yang diberikan bukan tanpa batas melainkan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Di samping itu, yang bersangkutan juga dituntut sedini mungkin untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam usahanya. Artinya harus senantiasa memperhatikan upah yang adil bagi pekerja, harga yang rasional dan keuntungan yang normal, dan artinya juga yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan spekulasi dan monopoli atau melakukan transaksi-transaksi lain seperti kontrak asuransi atau transaksi lain yang tidak jelas yang mengandung unsur perjudian, ketidakpastian dan eksploitasi.
Sedang dalam hal aturan aktifitas konsumsi, setiap individu muslim dibatasi oleh tiga hal, yaitu pertama, setiap individu muslim tidak boleh melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya terlarang (baca : berbuat maksiat) seperti perzinaan atau komoditas lain seperti anggur yang mana kesemuanya dianggap terlarang oleh agama; kedua, setiap individu muslim harus bersikap hemat dan tidak berlebih-lebihan, karena salah satu dampak yang ditimbulkan dari perilaku hemat dalam mengkonsumsi adalah eliminasi problematika kelangkaan yang langsung dapat menurunkan agregat permintaan dan di sisi lain dapat mencegah terjadinya inflasi; ketiga, setiap individu muslim harus dapat bersikap dermawan terhadap sesama anggota masyarakat muslim lainnya yang kurang beruntung (baca : kaum dhu’afa). Dalam hal ini, seorang ahli ekonomi islam telah memberikan catatan khusus, bahwa idealnya dari sikap tersebut bukan hanya terletak pada pemberian dari mereka yang memililki kelebihan…penghasilan daripada pengeluarannya melainkan juga semangat untuk sama-sama berkorban dan saling berbagi atas apa yang dimiliki jika ada yang lebih membutuhkan.
Singkatnya adalah bahwa prinsip mendasar keseluruhan bentuk norma adalah menghidupkan sikap altruisme, karena segala problema sosial akan dapat dipecahkan manakala setiap individu dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Dalam hadis Nabi yang maknanya ”yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”.
Dari hadist di atas akan dapat dibedakan teori konsumsi Islam dan non Islam sebagaimana Metwally berpendapat dalam Islam ada beberapa alasan mengapa konsumen mengunakan tingkat utilitas pada hak miliknya, pertama, seorang konsumen Islam tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang dan penguasaan barang yang tahan lama. Perilaku ekonomi muslim berpusat pada kepuasan yang dikehendaki oleh tuhan, sehingga kepuasan seorang konsumen Islam tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi dan barang tahan lama yang dikuasai, akan tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah (Metwally,1995 : 26)
Kedua, jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsikan oleh seorang konsumen muslim sangat berbeda dengan konsumen non-muslim, sungguh pun barang dan jasa tersebut sama-sama tersedia (Metwally,1995 : 26). Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan seorang muslim untuk mengkonsumsi alkohol, daging babi, dan berjudi. Ketiga, seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman (konsumsi atau lainnya), premium yang di bayarkan oleh konsumen muslim karena menguasai barang tahan lama, bunga yang terkandung didalamnya harus dikeluarkan (Karim, 2002 : 65-67) . Hal ini tidak berarti barang dan jasa tersebut harganya menjadi gratis dalam ekonomi Islam, akan tetapi bunga digantikan oleh ongkos yang disebut bagi keuntungan (profit Sharing).
Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah tangga harus menentukan skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali dan Al-shatibi berpendapat bahwa berdasarkan Al-Qur’an dan hadist ada tiga hubungan kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu, necessities yang merupakan kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiataan keagamaan, kehidupan, kebebasan berfikir, keturunan, dan pencapaian kekayaan, kedua, conveniences adalah kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiataan pertama dan ketiga, refinements adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan assori kehidupan. (Sarkaniputra,1997: 26)
Dengan mengacu pada pengolongan yang diajukan oleh kedua ulama tersebut, barang-barang dapat di bagi dalam tiga golongan, pertama, kebutuhan dasar atau basic needs/necessities yang menentukan kelangsungan hidup manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan. kedua, kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan tanpa barang ini manusia masih hidup seperti pendidikan, mobil, komputer dan lain-lain. Ketiga, kebutuhan tertier adalah barang-barang merupakan asesori hidup seperti sound system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/kebahagian di hari tua (Siregar, 2005: 3).
Barang kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang absolut dibutuhkan oleh sebuah rumah tangga, sedangkan penggolongan barang kebutuhan sekunder dan kebutuhan barang tertier adalah relatif yang sangat tergantung dari hidup ini adalah suatu ujian dimana kita umatnya dibekali dengan berbagai perbedaan seperti mental, physical ability, social environment, power, knowledge, wealth dan lain-lain, sehingga setiap rumah tangga berbeda dalam menetapkan sebuah kebutuhan hidupnya tetapi yang terpenting bagaimana nanti ia mempertanggungjawabkan barang-barang tersebut di hari akhir (Metwally,1995 : 26).
Dalam mengkonsumsi ke tiga jenis barang tersebut, sebuah rumah tangga akan mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh modigliani (fisher, Dornbusch, 1984) begitu juga dalam rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan sholat dan puasa. Tanpa alokasi dana kepada kebutuhan dasar (basic needs) dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu dengan alokasi dana pada kebutuhan dasar yang dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya setelah mati.
Dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan keuntungan yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat. Sebagian dari keuntungan harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat tersebut merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian yang seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban, karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan keuntungan, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan dana untuk mengkonsumsi kegiatan haji yang memberinya kepuasan dalam bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumah tangga ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian surga dalam kehidupan setelah mati. Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mulya Siregar berpendapat dengan pola konsumsi yang seperti ini, Insya Allah umat Islam terhindar dari kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan didunia. Pada dasarnya sumber daya yang ada (resources) merupakan amanah dari Allah yang pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan nilai-nilai Islam, sumber-sumber daya ekonomi tersebut harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk riya belaka, pengeluaran-pengeluaran non-produktif dan spekulatif.
Inilah yang dikatakan Al-Ghazali dan Al-Shatibi sebagai mafasid atau disutilities, yaitu kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan peningkatan social welfare. Sedangkan dengan pola konsumsi yang Islami dapat memberikan masalih atau utilities karena pola ini memasukkan zakat sebagai kegiatan konsumsi yang dapat memberikan kepuasan disatu sisi, dan merangsang orang untuk giat bekerja disisi lain yang pada gilirannya akan menghasilkan peningkatan social welfare masyarakat. Bila rumah-tangga Muslim telah menyadari sepenuhnya bahwa pengeluaran zakat merupakan bagian dari kegiatan konsumsi untuk mencapai maksimum utility.